BISNISREAL.COM, Bogor – Pakar IPB University, Dr Ujang Sehabudin dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University, mengungkapkan tentang tantangan dan strategi ketergantungan impor daging sapi di Indonesia. Ketergantungan Indonesia terhadap impor daging sapi masih menjadi masalah yang mengancam ketahanan pangan nasional. Sebagai informasi, pemerintah telah menambah jumlah impor sapi bakalan sebanyak 534 ribu ekor. Hal ini dilakukan untuk menggenjot produksi daging sapi dalam negeri. Dr Ujang Sehabudin, menyampaikan sejumlah tantangan dan strategi dalam mengurangi ketergantungan impor daging sapi di Indonesia. Menurutnya, tantangan utama dalam industri sapi potong di Indonesia adalah belum optimalnya produktivitas dan belum kuatnya struktur pembibitan sapi lokal. “Sapi potong lokal kita masih kalah saing dari segi harga maupun efisiensi dibandingkan sapi impor, sehingga kita terjebak dalam siklus impor daging maupun sapi bakalan,” jelasnya.
Dr Ujang mengatakan, kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap daging sapi cukup tinggi. Namun, tidak semua segmen mampu membeli daging sapi segar. Banyak masyarakat beralih ke produk olahan seperti bakso atau daging ayam sebagai alternatif sumber protein hewani. “Harga daging sapi yang relatif tinggi membuat konsumsi per kapitanya rendah dan tidak merata,” ujarnya.
Dalam kondisi tersebut, Dr Ujang mengatakan perlu adanya penguatan sistem feedlot (penggemukan sapi dalam jangka waktu tertentu) dan pembibitan sapi lokal. Menurutnya, feedlot bisa menjadi tulang punggung industri sapi potong. Namun, selama ini peternak kesulitan mendapatkan sapi bakalan dengan harga yang terjangkau. Feedlot di Indonesia banyak mengandalkan sapi bakalan impor, terutama dari Australia dan India.
“Pasar saat ini didominasi sapi impor dengan jenis dan umur yang seragam, sementara sapi lokal masih kalah secara kualitas dan efisiensi,” katanya. Ketergantungan ini, sebut Dr Ujang, menjadikan harga sangat sensitif terhadap fluktuasi global dan kebijakan negara eksportir. “Jika ada kebijakan embargo atau penyakit seperti mulut dan kuku (PMK), maka suplai kita langsung terganggu. Ini terjadi beberapa tahun lalu ketika Indonesia harus menghentikan impor sapi dari beberapa negara karena PMK,” ungkapnya.
Ia menyarankan agar pemerintah mendorong peningkatan efisiensi produksi daging sapi lokal melalui program kredit pembibitan, peningkatan kualitas genetik sapi, dan pembangunan peternakan berbasis ranch. “Sapi-sapi lokal seperti sapi Madura memiliki potensi besar jika didukung dengan pembibitan dan manajemen pakan yang baik,” jelasnya. Pemuliaan atau persilangan genetik menjadi strategi dalam meningkatkan bobot dan efisiensi sapi lokal. Ia memberi contoh program persilangan antara sapi lokal dan sapi eksotik untuk menghasilkan keturunan dengan performa lebih tinggi. “Namun harus ada komitmen jangka panjang. Tidak bisa setengah-setengah. Jika ingin swasembada, harus ada investasi di hulu, termasuk ketersediaan induk betina unggul dan infrastruktur pembibitan,” tegas Dr Ujang.
Ia juga menyampaikan bahwa keberhasilan program pembibitan akan menghasilkan efek ganda (multiplier effect) bagi peternak dan perekonomian desa. Dengan meningkatnya populasi sapi lokal, suplai daging dapat lebih stabil dan harga menjadi lebih bersaing. Langkah strategis lainnya adalah membangun segmentasi pasar yang adil antara daging lokal dan daging impor. “Kita perlu membedakan pasar premium, pasar menengah, dan pasar ekonomi agar daging lokal punya tempat. Tidak semua harus tergantung impor,” terangnya.
Dr Ujang juga menyinggung peran penting pemerintah dalam pengawasan dan distribusi kuota impor, agar kuota impor tidak dijadikan alat spekulasi bisnis, tetapi harus diarahkan untuk menutup kekurangan pasokan domestik secara proporsional.