BISNISREAL.COM, BOGOR – Sejarah panjang Nusantara menunjukkan bahwa kekuasaan pusat bisa runtuh, namun desa selalu bertahan. Desa bukan sekadar ruang sosial-ekonomi, melainkan benteng kedaulatan dan identitas bangsa. Ia menjadi jangkar kesinambungan dari masa kerajaan hingga era republik.
Ketika Majapahit tumbang, pusat kekuasaan lenyap, tetapi desa-desa tetap hidup. Para Ki Ageng, Akuwu, dan San Kuwu menjaga adat, mengelola sumber daya, dan mempertahankan ruang hidup masyarakat. Desa memastikan roda kehidupan berlanjut meski pusat kehilangan kuasa.
Hal serupa terjadi saat Republik Indonesia baru berdiri. Ibukota jatuh, perjanjian internasional merugikan, dan agresi militer berlangsung. Namun desa menjadi benteng perjuangan. Panglima Besar Jenderal Sudirman bergerilya dari desa ke desa, sementara rakyat desa menyediakan logistik, perlindungan, hingga tenaga. Dari desa, republik menemukan daya tahannya. Desa adalah penjaga kedaulatan sekaligus benteng teritorial bangsa.
Memasuki era modern, peran desa kembali strategis. Undang-Undang Desa menempatkan desa sebagai pengelola APBDes layaknya negara mengelola APBN. Desa bukan lagi sekadar unit administratif, melainkan ruang pembangunan yang menjaga pendidikan, kesehatan, penghidupan berkelanjutan, sekaligus teritori bangsa melalui pengelolaan tanah, sawah, dan hutan.
Namun tantangan baru hadir: krisis ekologi, ketimpangan, dan ekonomi eksploitasi. Desa dituntut menemukan jalan baru. Salah satu jawabannya adalah neo-indigenous economy partisipatif.
Neo bermakna pembaruan: keterbukaan desa pada teknologi, energi hijau, dan inovasi ekonomi.
Indigenous menegaskan akar kearifan lokal: gotong royong, tata kelola sosial, dan nilai budaya.
Partisipatif memastikan masyarakat desa bukan sekadar penerima, tetapi pelaku utama yang merencanakan, mengelola, dan menikmati hasil pembangunan.
Melalui pendekatan ini, desa bisa mengembangkan ekonomi sirkular, energi terbarukan seperti PLTMH dan panel surya untuk irigasi, serta ketahanan pangan berbasis kemandirian. Desa menjadi ruang di mana tradisi berpadu dengan inovasi, melahirkan kedaulatan baru: ekonomi, pangan, dan ekologi.
Dari masa ke masa, desa selalu hadir sebagai penjaga. Dulu menjaga kedaulatan ketika pusat goyah, kini menjaga pembangunan dan teritorial, dan ke depan menjaga transisi ekonomi-ekologi. Dengan neo-indigenous economy partisipatif, desa tidak hanya bertahan, tetapi juga membangun masa depan.
Desa adalah fondasi bangsa. Bila desa kuat, negara akan tangguh. Bila desa berdaulat, Indonesia akan berdaulat.
Salam pemberdayaan,
Sigit Iko